Rabu, 23 Oktober 2013

Kehilangan Sikap Altruisme dalam Masyarakat

Di jaman modern ini, terjadi begitu banyak perubahan pada masyarakat, termasuk pola pikir kapitalis dalam kehidupan sehari-hari. Pola pikir kapitalis yang membudaya inilah yang telah menggerus pribadi masyarakat Indonesia. Fenomena ini begitu memprihatinkan, dimana seharusnya altruisme sebagai landasan dalam bertenggang rasa sesama masyarakat semakin luntur dalam arus kapitalisme. Sehingga kita banyak mendengar anjuran back-to-nature. Anjuran ini tidak datang begitu saja, tetapi dilandasi karena rasa rindu akan hidup yang penuh dengan kebersamaan, saling pecaya, saling mengasihi, pengertian dan jauh dr sifat yang penuh dengan kemunafikan.

Apa Itu Altruisme ? Altruisme adalah tindakan sukarela untuk menolong orang lain tanpa mengaharapkan imbalan (pamrih) dalam bentuk apapun. Altruism itu sendiri termasuk sebuah dorongan untuk berkorban demi sebuah nilai yang lebih tinggi, entah bersifat manusiawi atau ketuhanan. Bangsa Indonesia memegang teguh altruisme dan hidup sederhana dalam semboyan-semboyan seperti “Dahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi”, “Gotong royong” dan lain-lainnya. Dalam setiap agama pun juga ditekankan tentang altruisme dimana kita harus menolong, saling mengasihi. Tetapi masyarakat Indonesia mulai meninggalkan nilai-nilai ini. Anjuran untuk kembali ke alam pun semakin terasa dibutuhkan, karena alam mengajarkan keselarasan dalam hidup, sikap arif bergaul dengannya.

Perlakuan seperti ini masih bisa kita dapatkan di tempat-tempat yang jauh dari hiruk pikuknya kehidupan kota. Perilaku altruisme seharusnya bukanlah barang asing, bahkan merupakan aib jika seseorang tidak memperlihatkan sikap ini. Sikap hidup yang individualis inilah yang dianggap menyimpang. Karena manusia tidak dapat hidup sendiri tetapi membutuhkan bantuan manusia lainnya.

Adapun teori menolong yang timbul karena perilaku menolong adalah sebagai berikut:
  1. Teori Psikoanalisis
  2. Teori ini bersandar pada asumsi bahwa manusia pada dasarnya agresif dan selfish (egois) secara instingtif. Dengan demikian, beberapa tokoh psikoanalisis memandang altruisme sebagai pertahanan diri terhadap kecemasan dan konflik internal diri kita sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa altruisme lebih bersifat self-serving (melayani diri sendiri), bukan dimotivasi oleh kepedulian yang murni terhadap orang lain. Meskipun diakui bahwa pengalaman sosialisasi yang positif dapat membuat kita tidak terlalu selfish (lebih selfless), para tokoh psikoanalisis tetap memandang pada dasarnya manusia bersifat selfish artinya manusia itu makhluk yang egois, perilaku menolong itu muncul hanya karena suatu defens mechanism untuk mempertahankan diri agar tetap eksis dan merasa aman.
  3. Teori Belajar
  4. Khususnya tokoh-tokoh aliran psikologi belajar yang menekankan reinforcement seperti B.F. Skinner beranggapan bahwa kita cenderung mengulangi atau memperkuat perilaku yang memiliki konsekuensi positif bagi diri kita. Mengenai altruisme, mereka berpendapat, bahwa di balik perilaku yang tampaknya altruisme sesungguhnya adalah egoisme atau kepentingan diri sendiri. Hampir sama dengan pandangan Psikoanalisa, Teori belajar juga mengganggap manusia adalah makhluk yang selfish (egois). Hanya saja, menurut teori belajar, sifat altrusitik ataupun selfish itu didapatkan dari lingkungan pembelajaran.
  5. Teori Norma Sosial
  6. Teori ini bersumber dari pola hubungan masyarakat yang dilihat dari beberapa aspek, diantaranya:
    • Norma timbal balik, membalas pertolongan dengan pertolongan
    • Norma tanggung jawab sosial, menolong orang lain tanpa mengharapkan balasan
    • Norma keseimbangan, bahwa manusia memiliki perilaku menolong karena untuk mempertahankan keseimbangan
  7. Altrusme dalam Islam
  8. Islam memandang bahwa perilaku menolong adalah merupakan fitrah manusia yang dibawah sejak lahir, artinya manusia sudah mempunyai sifat-sifat itu dan merupakan sifat dasar dalam membangun relasi social nantinya. Dalam masyarakat Muslim pun, sangat mengajurkan perilaku ini, bahkan pada satu hadist disebutkan “tidak akan masuk syurga orang yang membiarkan tetangganya mati kelaparan”. Perilaku menolong adalah salah satu perilaku prososial yang lahir karena adanya proses pembelajaran dilingkungan. Proses ini dimulai sejak anak mulai mengenal lingkungan. Menurut Cialdini (1982) anak adalah individu yang berusia antara 10-12 tahun, yang merupakan masa peralihan antara tahapan presosialization (tahap dimana anak tidak peduli pada orang lain, mereka hanya akan menolong apabila diminta atau ditawari sesuatu agar mau melakukannya, tapi menolong itu tidak membawa dampak positif bagi mereka), tahap awareness (tahap dimana anak belajar bahwa anggota masyarakat di lingkungan tempat tinggal mereka saling membantu, mengakibatkan mereka menjadi lebih sensitif terhadap norma sosial dan tingkah laku prososial), dan tahap internalization (15-16 tahun). Pada tahap ini perilaku menolong bisa memberikan kepuasan secara intrinsik dan membuat orang merasa nyaman. Norma eksternal yang memotivasi menolong selama tahap kedua sudah diinternalisasi. Lingkungan yang tidak mendukung akan timbulnya perilaku altruism ini, kemungkinan besar hubungan antar anggota masyarakat lebih bersifat individual. Pada dasarnya, menurut pandangan Islam, perilaku menolong dan perilaku hidup prososial adalah merupakan fitrah manusia, artinya kecenderungan untuk melakukan perilaku menolong sudah ada dalam diri manusia, tinggal lingkungan memberikan support, apakah akan memunculkannya atau tidak.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku menolong biasanya dikarenakan beberapa hal, yaitu:
  1. Suasana Hati
  2. Jika suasana hati sedang enak, orang juga akan terdorong untuk memberikan pertolongan lebih banyak. Itu mengapa pada masa puasa, Idul Fitri atau menjelang Natal orang cenderung memberikan derma lebih banyak. Merasakan suasana yang enak itu orang cenderung ingin memperpanjangnya dengan perilaku yang positif. Riset menunjukkan bahwa menolong orang lain akan lebih disukai jika ganjarannya jelas. Semakin nyata ganjarannya, semakin mau orang menolong (Forgas & Bower). Bagaimana dengan suasana hati yang buruk? Menurut penelitian Carlson & Miller, asalkan lingkungannya baik, keinginan untuk menolong meningkat pada orang yang tidak bahagia. Pada dasarnya orang yang tidak bahagia mencari cara untuk keluar dari keadaan itu, dan menolong orang lain merupakan pilihannya. Tapi pakar psikologi lain tidak meyakini peran suasana hati yang negatif itu dalam altruisme.
  3. Empati
  4. Menolong orang lain membuat kita merasa enak. Tapi bisakah kita menolong orang lain tanpa dilatarbelakangi motivasi yang mementingkan diri sendiri (selfish)? Menurut Daniel Batson bisa, yaitu dengan empati (pengalaman menempatkan diri pada keadaan emosi orang lain seolah-olah mengalaminya sendiri). Empati inilah yang menurut Batson akan mendorong orang untuk melakukan pertolongan altruistis.
  5. Meyakini Keadilan Dunia
  6. Faktor lain yang mendorong terjadinya altruisme adalah keyakinan akan adanya keadilan di dunia (just world), yaitu keyakinan bahwa dalam jangka panjang yang salah akan dihukum dan yang baik akan dapat ganjaran. Menurut teori Melvin Lerner, orang yang keyakinannya kuat terhadap keadilan dunia akan termotivasi untuk mencoba memperbaiki keadaan ketika mereka melihat orang yang tidak bersalah menderita. Maka tanpa pikir panjang mereka segera bertindak memberi pertolongan jika ada orang yang kemalangan.
  7. Faktor Sosiobiologis
  8. Secara sepintas perilaku altruistis memberi kesan kontraproduktif, mengandung risiko tinggi termasuk terluka dan bahkan mati. Ketika orang yang ditolong bisa selamat, yang menolong mungkin malah tidak selamat. Perilaku seperti itu antara lain muncul karena ada proses adaptasi dengan lingkungan terdekat, dalam hal ini orangtua. Selain itu, meskipun minimal, ada pula peran kontribusi unsur genetik.
  9. Faktor Situasional
  10. Apakah ada karakter tertentu yang membuat seseorang menjadi altruistis? Belum ada penelitian yang membuktikannya. Yang lebih diyakini adalah bahwa seseorang menjadi penolong lebih sebagai produk lingkungan daripada faktor yang ada pada dirinya.
  11. Faktor Penghayatan Terhadap Agama
  12. Agama manapun didunia ini semuanya menganjurkan perilaku menolong. Sehingga semakin tinggi tingkat penghayatan keagamaan seseorang, maka semakin tinggi pula perilaku menolongnya. Perilaku menolong didasari karena sikap berbakti kepada manusia sebagai wujud ketaatannya kepada Tuhan. Sebagai orang yang beriman pada Tuhan, tentu saja spiritualitas ini dikembangkan melalui persatuan dengan Tuhan, juga dengan sesama umat manusia dan alam semesta ciptaan-Nya. Dengan itu, prososial akan menjadi ciri khas yang melekat dalam diri seseorang karena orang lain disadari sebagai bagian dari hidupnya. Prososial bukan lagi berupa tindakan temporer yang disertai pamrih pribadi.
Solusi pemecahan masalah ini adalah dengan menanamkan sikap Altruisme kepada anak-anak kecil atau penerus bangsa ini sejak kecil. Karena mulai dari lingkungan dan orang tua, anak-kecil ini akan terdidik. Dan bagi yang sudah dewasa diharapkan memiliki kesadaran tentang Altruisme ini dan bagi yang sudah menanamkan pada diri sendiri, diharapkan bisa mengajak teman-teman atau saudara atau siapapun untuk menanamkan sikap ini.  

KESIMPULAN: Kemunculan sikap altruism ini sangat dipengaruhi oleh factor lingkungan sebagai tempat sosialisasi pertama manusia, terutama anak yang masih dalam tahap pengembangan. Lingkungan yang mendukung timbulnya sikap ini, kemungkinan besar akan menumbuhkan sikap yang altruis dalam masyarakatnya. Begitupula sebaliknya, lingkungan yang masyarakatnya menutup diri akan menciptakan masyarakat yang tidak bersahabat, lebih mementingkan kepentingan sendiri tanpa sedikitpun memikirkan kepentingan orang lain.

SUMBER: http://psychologymania.wordpress.com/2011/07/12/perilaku-menolong-altruisme-analisis-pada-suku-kajang-2/